Sabtu, 22 Desember 2012

Gugur bunga menghantar kikisan rindu hati (cerpen)


Aku masih disini...
Menghitung waktu menatap sepi...
Tak pernah kutahu kapan ini akan berakhir...
Setitik  harap mengukir bahagia
Gugur bunga, menghantar kikisan rindu hati...

Tak teralih dari bangku ini, aku masih ditempat yang sama. Berbayang impian yang kuharap akan menjadi nyata. Kugadahkan kepala ini menatap langit di atas, mencoba wujudkan impian di awang. Lamunanku terbuyar ketika aku mendapati seseorang membuka pintu kelas, berjalan lalu menyalakan keran dan membasahi tangannya dengan percikan air yang ragu keluar.
Pikiranku kembali teralihkan. Sejenak aku memandang kelas sebelah, berharap seseorang membuka pintu dan menyapaku dengan hangat, memberikan tatapan teduh yang dulu selalu kudapatkan. Namun aku merasa khayalanku terlalu tinggi. Dia memang masih orang yang sama, namun mungkin hatinya kini tlah beda. Hatinya kini dimiliki seseorang yang tak pernah kuduga, seakan-akan bagai hantu yang menyelinap masuk kedalam hatinya tanpa sepengetahuanku. Aku memang salah dulu aku lengah, tak peka terhadap semua yang dia berikan. Hingga kini aku kembali mengenal apa itu penyesalan.
“Kringgg...” tak terasa dua jam kosong pelajaran sudah aku lewati dengan melamun di depan kelas. Bel pulang pun sudah dibunyikan, bertanda pelajaran hari ini sudah selesai. Bergegas aku masuk kedalam kelas, berberes barang dan mengambil tas. Usai semua masuk ke dalam ransel ini, sengaja aku percepat langkah keluar.
oke, siap berpatroli..haha batinku, mata ini pun lekas mencarinya. Dan akhirnya aku pun menemukannya sedang berbincang canda dengan temannya di di sudut pintu kelasnya. Dengan segera aku berlari ke kelas Rei.
Rei....!!! coba kau lihat disana,!! sembari aku menunjuk arah kelas dekat tangga.
Memangnya ada apa? tanyanya.
Itu..! aku berbisik pada Rei.
Dia pun tersenyum, mengerti apa yang kumaksud. Setelah puas aku memandanginya, aku dan Rei pun melangkahkan kaki untuk pulang. Arah rumah kami memang sama, karena kami tinggal serumah. Tapi dalam perjalanan pulang pun aku masih belum rela mengalihkan fikiranku dari dia. Rasanya masih ingin aku menunggu. Menanti dia lewat untuk pulang ke rumahnya.
            Akhirnya aku dan Rei memutuskan untuk berhenti sejenak dibawah pohon besar disamping sekolah kami.
Yes, siapa tau dia lewat..! cekikikku dalam hati.
Kusandarkan tubuh ini pada batang yang besar. Menghirup segala hembusan udara segar yang ada. Kini aku mulai terkontaminasi kembali bersama semua impian khayalku. 
“ Aku memang bukanlah oksigen yang dapat membuatmu mati tanpaku,

Aku memang bukanlah udara yang setiap saat kau butuhkan untuk kau hirup,

Aku hanyalah partikel kecil yang berusaha masuk ke dalam dirimu,

Melawan bepuluh bahkan beratus partikel yang terdapat dalam setiap jengkahan nafasmu,

Melawan tiupan angin yang akan menerbangkanku ke sisi lain,

Aku hanya ingin membuatmu sadar,

Akulah yang selama ini menyertai setiap langkahmu dalam rapalan,

Walau ku diam, percayalah hatiku tak pernah membungkam,

Aku bertahan,”
Entah mengapa argumen-argumen gila berkeliaran ria di otakku, hingga membuat Rei terheran karena aku seyum-senyum sendiri tanpa sebab, namun aku hanya menanggapi setiap ocehan Rei dengan senyuman hingga meyakinkan dia kalau aku benar-benar gila dengan obsesi khayalku. Namun andai Rei tahu, bahwa aku sedang menikmati aliran kesetian dalam hati. Memahami setiap tetes, sebelum aliran itu terhenti pada sebuah batas penantian.

            Aku kembali menatap lurus, hembusan angin yang begitu sepoi, mengalahkan teriknya matahari siang ini. Menggugurkan helai bunga yang menua, jatuh tepat di atas telapak tanganku.

bunga, bantu aku..

Bantu aku dekat dengannya..

Kuselipkan kikisan rindu padamu..

Tolong sampaikan untuknya.. bisikku dalam hati pada helai bunga yang jatuh tadi dan kubiarkan bunga itu terbang tersapu angin. Kontaminasi khayalanku terbuyar, ketika aku melihat dia benar lewat di depanku, rasanya seperti mimpi. Setiap bertemu aku ingin sekali bertegur sapa dengannya, namun entah mengapa lidah ini selalu kelu untuk berkata. Terkadang aku ingin memarahi diri ini, karena tak berkutik di hadapannya.

            Mataku masih memandanginya berjalan, tak tau mengapa tiba-tiba hati ini ikut bahagia melihatnya tersenyum. Aku baru tesadar ketika aku melihat pundaknya yang tegap terdapat serpihan bunga yang menempat. Aku pun tersenyum, dan berkata Tuhan memang adil..!


karya : @intanwe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar