Angin musim bertiup, menghembuskan angin yang
mungkin akan menerbangkan perasaan yang telah rapuh ini. Aku lelah memilikinya,
aku sadar dan menoleh akan semua keadaan yang telah kulalui. Aku tak sepenuhnya
senang, tak seikhlasnya rela,dan tak sejujurnya bahagia melihat seseorang yang
ku kasihi, bersama orang lain. Aku memutuskan pergi. Memutuskan mengakhiri
semua rasa ini, meski banyak kenangan yang masih kusimpan. Aku yakin waktu akan
mebantuku.
Selang waktu berlalu, jam berganti hari, hari berganti
minggu,dan minggu telah berganti bulan,
tak terasa telah lama waktu yang kulalui untuk menutup diri. Ruangan itu mulai
kosong, berdebu, dan aku takut bila itu akan menjadi usang. Akhirnya aku
memberanikan diri untuk membuka pintu itu. Sedikit demi sedikit sorot cahaya,
dan udara yang segar seolah meniupkan kembali kehidupan pada ruangan itu.
Tatkala seperti pengembara tersesat,yang menemukan
sebuah pondok di tengah hutan. Dia menjadi penghuni ruangan yang telah lama
kosong itu. Kini dia menemaniku, menghiasi setiap hari-hari yang kulalui
menjadi lebih berwarna. Dengan candaan, pertengkaran sekejap aku merasa
lengkap. Hingga dia menyatakan ingin selalu menemaniku dan tetap tinggal
diruangan ini. Seketika aku merasakan rasa senang yang begitu hebat, namun
entah mengapa disisi lain aku juga merasakan keraguan yang begitu besar, apa
karna aku takut dia masih terikat dengn cinta masalalunya?. Aku mengijinkannya
tinggal. Kita berjanji untuk bersama, dan tak akan meninggalkan satu sama lain.
Mungkin ini adalah keputusan terbesar yang pernah ku buat.
Waktu terus berlalu, hari- hari bejalan seperti
biasa. Tak ketinggalan lukisan gelombang dan lika-liku hidup memenuhinya. Kita
melewatinya, butuh kekuatan besar untuk menghadapi semua itu. Ketika berada di
ujung jalan salah satu harus mau memegang tangan agar tak terpisah. Namun hidup
itu tak semudah membalikkan tangan, aku menyadarinya disaat aku memutuskan
untuk pergi berlayar. Aku ingin pergi sendiri dan meninggalkannya, diapun
melespasku. Kepergianku dihantar oleh sedikit kekecewaan, namun aku berjanji
untuk menemukan sesuatu yang indah yang nantinya akan membahagiakan aku dan dia
ketika kembali bersama. Perahuku mulai berlayar namun angin berhembus begitu
kencang menggemakan namanya dalam pikiranku dan gelombang besar menghantam. Gelombang
itu pula yang telah mengombang ambingkanku yang akhirnya mendamparkanku di
sebuah pulau, sendirian. Pulau yang sepi tanpa penghuni. Aku coba mengintari
pulau itu berharap mendapat suatu penyelesaian. Namun sayang bukan
penyelesaian, justru penyesalan yang aku dapatkan.
Sia-sia, aku
tak mendapat apapun dari kepergianku hanya penyesalan yang kubawa pulang. Semua
terjadi karena keegoisanku. Kali ini akankah waktu membantuku untuk kembali?
Akankah jika aku kembali, dia akan menyambutku dengan hangat lagi? Akankah dia
akan berkata ingin menemaniku lagi?Setelah aku pergi meninggalkannya?. Aku tak
yakin, akupun tak menaruh harapan karena keputusan yang kuambil memang salah
besar. Dan juga telah menyakitinya. Aku menyadari, aku tak memerlukan sesuatu
yang berlebihan untuk memiliki hidup yang lebih baik dengannya. Aku rasa cukup
dalm kesederhanaan dalm bersama. Karena aku tau arti dari kebersamaan itulah
yang selama ini kucari. Dengan saling mempercayai, dan kata besar yang telah diucap untuk terus
bersama, rasa cinta, sayang dan kasih yang dulu kita miliki cukup untuk
bertahan dari kata perpisahan.
Tak mempedulikan kemungkinan terburuk yang akan ku
terima, aku kembali. Aku siap jika dia mengusirku, atau bahkan tak ingin
bertemu denganku lagi. Satu yang di benakku sekarang, yaitu untuk kembali
padanya. Kembali terbang bersamanya, jatuh bersamanya, kembali seperti dulu bersamanya.
Kini aku berada di ambang pintu, sedikit cemas menunggunya lama membuka pintu.
Apa dia tak ingin bertemu denganku lagi?mengapa ia mengabaikanku?aku tau, aku
sudah cukup menyadari semua kesalahan. Diasaat aku akan berpaling meninggalkan
pintu itu, dia datang, dia membuka pintu dan berdiri disana. Aku tak menyangka,
namun aku sangat bahagia melihatnya.
Dia membuka pintu, itu berarti dia memaafkanku bukan?bukankah
itu cukup anugrah?mengapa aku tak puas?. “Apa kita tak bisa kembali seperti
dulu?”itu yang mengambang di pikiranku sekarang. Namun apa yang mengambang
dipikiranku saat ini seolah telah terbaca olehnya. Dia meminta maaf dan meminta
waktu untukku menunggu. Diapun berlalu meninggalkanku dengan pintu terbuka. Aku
paham maksudnya, tak mungkin sesuatu yang telah kuubah menjadi menyakitkan
dapat berubah lagi dengan cepat menjadi kebahagiaan yang kuharapkan. Aku pun
tersenyum di ambang pintu ini. Mungkin lebih patut disebut senyum kepedihan,
buliran intan pun menetes dari pelupukku. Segera mungkin aku menghapusnya, aku
tak ingin jika menunggu di ambang pintu ini dengan air mata yang menyelimutiku.
Namun sekejap saja aku baru menghapusnya buliran lain kembali terjatuh.
Perasaan takut kini mengerubungiku. Banyak
argumentasi yang kini berpetualang di benakku. “Apa di dalam sana telah ada
cinta masalalunya?apakah dia telah kembali terjatuh dalam cinta masalalunya?!”
Tapi, dia telah berjanji kembali dan memperbolehkanku masuk ke dalam setelah
aku menunggu untuknya. Tapi, tetap saja aku tak tenang, aku kedinginan, aku
ketakutan dan aku kesepian menunggu dia kembali dengan senyum hangat sembari
meraih tanganku dan mengajakku masuk ke dalam.
“Aku tetap akan menunggunya, walaupun hanya dengan
sepercik siraman hangat darinya. Aku kan berusaha bertahan. Dan berperang
dengan bayang cinta masalalunya yang selalu menggoyahkan dan menghantuiku untuk
berhenti menunggunya.”
With love/@intanwe
J