Selasa, 20 Mei 2014

A Flying Story of Journey of Love




Angin musim bertiup, menghembuskan angin yang mungkin akan menerbangkan perasaan yang telah rapuh ini. Aku lelah memilikinya, aku sadar dan menoleh akan semua keadaan yang telah kulalui. Aku tak sepenuhnya senang, tak seikhlasnya rela,dan tak sejujurnya bahagia melihat seseorang yang ku kasihi, bersama orang lain. Aku memutuskan pergi. Memutuskan mengakhiri semua rasa ini, meski banyak kenangan yang masih kusimpan. Aku yakin waktu akan mebantuku.
Selang waktu berlalu, jam berganti hari, hari berganti minggu,dan minggu telah  berganti bulan, tak terasa telah lama waktu yang kulalui untuk menutup diri. Ruangan itu mulai kosong, berdebu, dan aku takut bila itu akan menjadi usang. Akhirnya aku memberanikan diri untuk membuka pintu itu. Sedikit demi sedikit sorot cahaya, dan udara yang segar seolah meniupkan kembali kehidupan pada ruangan itu.
Tatkala seperti pengembara tersesat,yang menemukan sebuah pondok di tengah hutan. Dia menjadi penghuni ruangan yang telah lama kosong itu. Kini dia menemaniku, menghiasi setiap hari-hari yang kulalui menjadi lebih berwarna. Dengan candaan, pertengkaran sekejap aku merasa lengkap. Hingga dia menyatakan ingin selalu menemaniku dan tetap tinggal diruangan ini. Seketika aku merasakan rasa senang yang begitu hebat, namun entah mengapa disisi lain aku juga merasakan keraguan yang begitu besar, apa karna aku takut dia masih terikat dengn cinta masalalunya?. Aku mengijinkannya tinggal. Kita berjanji untuk bersama, dan tak akan meninggalkan satu sama lain. Mungkin ini adalah keputusan terbesar yang pernah ku buat.
Waktu terus berlalu, hari- hari bejalan seperti biasa. Tak ketinggalan lukisan gelombang dan lika-liku hidup memenuhinya. Kita melewatinya, butuh kekuatan besar untuk menghadapi semua itu. Ketika berada di ujung jalan salah satu harus mau memegang tangan agar tak terpisah. Namun hidup itu tak semudah membalikkan tangan, aku menyadarinya disaat aku memutuskan untuk pergi berlayar. Aku ingin pergi sendiri dan meninggalkannya, diapun melespasku. Kepergianku dihantar oleh sedikit kekecewaan, namun aku berjanji untuk menemukan sesuatu yang indah yang nantinya akan membahagiakan aku dan dia ketika kembali bersama. Perahuku mulai berlayar namun angin berhembus begitu kencang menggemakan namanya dalam pikiranku dan gelombang besar menghantam. Gelombang itu pula yang telah mengombang ambingkanku yang akhirnya mendamparkanku di sebuah pulau, sendirian. Pulau yang sepi tanpa penghuni. Aku coba mengintari pulau itu berharap mendapat suatu penyelesaian. Namun sayang bukan penyelesaian, justru penyesalan yang aku dapatkan.
 Sia-sia, aku tak mendapat apapun dari kepergianku hanya penyesalan yang kubawa pulang. Semua terjadi karena keegoisanku. Kali ini akankah waktu membantuku untuk kembali? Akankah jika aku kembali, dia akan menyambutku dengan hangat lagi? Akankah dia akan berkata ingin menemaniku lagi?Setelah aku pergi meninggalkannya?. Aku tak yakin, akupun tak menaruh harapan karena keputusan yang kuambil memang salah besar. Dan juga telah menyakitinya. Aku menyadari, aku tak memerlukan sesuatu yang berlebihan untuk memiliki hidup yang lebih baik dengannya. Aku rasa cukup dalm kesederhanaan dalm bersama. Karena aku tau arti dari kebersamaan itulah yang selama ini kucari. Dengan saling mempercayai,  dan kata besar yang telah diucap untuk terus bersama, rasa cinta, sayang dan kasih yang dulu kita miliki cukup untuk bertahan dari kata perpisahan.
Tak mempedulikan kemungkinan terburuk yang akan ku terima, aku kembali. Aku siap jika dia mengusirku, atau bahkan tak ingin bertemu denganku lagi. Satu yang di benakku sekarang, yaitu untuk kembali padanya. Kembali terbang bersamanya, jatuh bersamanya, kembali seperti dulu bersamanya. Kini aku berada di ambang pintu, sedikit cemas menunggunya lama membuka pintu. Apa dia tak ingin bertemu denganku lagi?mengapa ia mengabaikanku?aku tau, aku sudah cukup menyadari semua kesalahan. Diasaat aku akan berpaling meninggalkan pintu itu, dia datang, dia membuka pintu dan berdiri disana. Aku tak menyangka, namun aku sangat bahagia melihatnya.
Dia membuka pintu, itu berarti dia memaafkanku bukan?bukankah itu cukup anugrah?mengapa aku tak puas?. “Apa kita tak bisa kembali seperti dulu?”itu yang mengambang di pikiranku sekarang. Namun apa yang mengambang dipikiranku saat ini seolah telah terbaca olehnya. Dia meminta maaf dan meminta waktu untukku menunggu. Diapun berlalu meninggalkanku dengan pintu terbuka. Aku paham maksudnya, tak mungkin sesuatu yang telah kuubah menjadi menyakitkan dapat berubah lagi dengan cepat menjadi kebahagiaan yang kuharapkan. Aku pun tersenyum di ambang pintu ini. Mungkin lebih patut disebut senyum kepedihan, buliran intan pun menetes dari pelupukku. Segera mungkin aku menghapusnya, aku tak ingin jika menunggu di ambang pintu ini dengan air mata yang menyelimutiku. Namun sekejap saja aku baru menghapusnya buliran lain kembali terjatuh.
Perasaan takut kini mengerubungiku. Banyak argumentasi yang kini berpetualang di benakku. “Apa di dalam sana telah ada cinta masalalunya?apakah dia telah kembali terjatuh dalam cinta masalalunya?!” Tapi, dia telah berjanji kembali dan memperbolehkanku masuk ke dalam setelah aku menunggu untuknya. Tapi, tetap saja aku tak tenang, aku kedinginan, aku ketakutan dan aku kesepian menunggu dia kembali dengan senyum hangat sembari meraih tanganku dan mengajakku masuk ke dalam.
“Aku tetap akan menunggunya, walaupun hanya dengan sepercik siraman hangat darinya. Aku kan berusaha bertahan. Dan berperang dengan bayang cinta masalalunya yang selalu menggoyahkan dan menghantuiku untuk berhenti menunggunya.”

With love/@intanwe
J